Mitos Makam Serek Bokos di Dasan Tumbu
Di dasan Tumbu Desa Tumbuhmulia Kecamatan Suralaga terdapat sebuah makam kuno yang sering dikunjungi oleh peziarah. Makam tersebut dikenal dengan nama “Makem Serek Bokos.” “Serek” berarti sobek, sedangkan “bokos” artinya kain kafan. Jadi serek bokos adalah sobekan kain kafan. Menurut penuturan masyarakat setempat, nama serek bokos bermula dari mitos yang mengatakan bahwa siapa saja yang mengunjungi sungai tempat makam tersebut berada maka sepulangnya akan disobekkan kain kafan. Yang berarti bahwa orang tersebut akan meninggal dunia.
Itu menandakan bahwa tempat itu dulunya sangat angker. Sehingga jarang-jarang orang datang ke sana kalau tanpa kepentingan. Dulunya makan tersebut dijaga oleh pemilik kebun tempat makam tersebut berada, yakni Papuk Saebah (almarhum)
Makam tersebut diapit oleh dua sungai. Kedua sungai itu berbentuk palung dan sangat dalam. Airnya sangat jernih sehingga kalau musim kemarau tiba masyrakat setempat mencuci dan mandi di sungai itu. Di bagian hilir juga terdapat mata air yang dikenal dengan "Mata Air Serek Bokos". Mata air tersebut tidak mengenal kemarau dan hujan. Kondisi airnya tetap stabil dan selalu jernih. Masyarakat dusun Gegurun juga memanfaatkan mata air tersebut untuk mencuci dan mandi.
Di lokasi makam tersebut banyak ditumbuhi oleh pepohonan terutama pohon nira, pohon nipah, pohon kamboja, dan pohon-pohon liar lainnya. Sehingga di kawasan permakaman tersebut sangat rindang.
Setiap pengunjung yang datang biasaya akan membersihkan dengan menyapu areal pemakaman. Bahkan anak-anak yang mencari kayu bakar di sekitar makam juga menyempatkan diri untuk menyapu bersih halaman makam.
Adapun jarak Makam Serek Bokos dari jalan raya sekitar 250 meter. Dan sekarang pemerintah desa Tumbuh Mulia sudah membuka akses jalan menuju ke kompleks pemakaman untuk memudahkan para pengunjung.
Mengenai sejarah makam tersebut sampai kini masih menjadi tanda tanya. Sebab masih belum ada penelitian mendalam. Namun menurut penuturan orang tetua di desa Tumbuh Mulia bahwa makam tersebut merupakan makam dari Raja Dea. Raja Dea sendiri adalah Raja di Kerajaan Kalijaga (Sekaragn Desa Kalijaga Kec. Aikmel). Raja Dea dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana.
Kerajaan Kalijaga merupakan Kerajaan di bawah kekuasaan Raja Selaparang.
Konon saat itu terjadi sebuah peperangan sengit. Kerajaan Bali berusaha merebut Kerajaan Kalijaga dari Kekuasaan Raja Selaparang. Peperangan terpusat di Menak (sekarang dusun Menak). Sehingga dikenal dengan nama perang Menak.
Untuk menghindarkan Raja Dea dari maut para prajurit setianya berusaha melarikan rajanya. Namun sang raja tidak mau meninggalkan rakyatnya. Sang raja rela mati bersama rakyatnya. Sang raja lebih mencintai rakyatnya ketimbang harta benda dan nyawanya. Sehingga sang raja bertekad untuk bertahan melawan musuh. Puluhan musuh sudah jatuh ditangannya. Namun musuh juga tetap berusaha meyerang degan kekuatannya yang sangat besar. Kekuatan kerajaan Kalijaga lebih kecil dibanding kekuatan Raja Bali. Sementara bala tentara bantuan dari Selaparang belum juga datang. Akhirnya satu per satu prajurit Kalijaga berjatuhan.
Raja Dea yang kondisinya saat itu sangat kritis berhasil di bawa lari oleh beberapa prajurit. Sementara prajurit lainnya sudah mulai ditawan oleh musuh karena menyerahkan diri. Raja Dea dibawa lari masuk hutan. Musuh pun beruaha mengejar dari belakang. Tapi para musuh kehilangan jejak. Karena saat itu hari sudah mulai gelap dan kondisi hutan yang sangat lebat.
Ketika itu Raja Dea dilarikan ke arah barat menuju hutan Serek Bokos (Sekarang Desa Tumbuh Mulia). Raja Dea bersama isteri dan anaknya tidur di tengah belantara itu. Para prajurit membangun kam-kam yang terbuat dari pelepah pohon nira.
Setelah satu minggu Raja Dea sangat kritis sekali. Sabetan pedang di perutnya semakin terinfeksi. Rupanya para musuh membubuhkan racun ganas di mata pedang mereka sehingga luka raja Dea sulit untuk disembuhkan. Akhinya pada malam hari ke tujuh raja Dea meninggal dunia. Pagi harinya ia dikubur di hutan itu juga. Menurut beberapa penuturan masnyarakat bahwa jasad Raja Dea saat itu berubah menjadi pohon pisang ( Sasak: kedebong), sehingga para prajurit terpaksa harus menguburkan pohon pisang.
Satu persatu isteri dan anak Raja Dea pun meninggal dunia akibat kekurangan makanan. Karena di tempat itu jauh dari perkampungan. Mereka tidak berani keluar hutan. Mereka takut di ketahui musuh. Sehingga mereka bertekad untuk hidup mati bersama di tempat yang gelap itu. Begitu pula para prajurit yang sebagian besar berasal dari Reriu itu satu persatu meninggal dunia.
Hingga kini pemakaman tersebut masih tetap dikunjungi oleh penduduk. Bukan hanya penduduk yang tinggal di desa Tumbuh Mulia saja melainkan masyarakat yang datangnya entah dari mana. Mereka sengaja datang untuk mengadakan hajatan. Misalnya, bila ada keluarga mereka yang sedang sakit keras kemudian sulit disembuhkan, maka mereka datang ke makam itu sebagai sarat yang disarankan oleh belian (dukun) mereka.
Para pembaca yang budiman, cerita ini hanya fiktif belaka. Bukan hasil penelitian sejarah (history reseach). Tetapi beberapa bagian cerita memang merupakan folklor (cerita rakyat). Sementara keberadaan makam tersebut sampai sekarang masih utuh, dan masih menjadi tanda tanya.