Ada Apa di Puncak Menggode?
Gunung Menggode merupakan gunung kecil yang sangat indah. Yaitu terletak di desa Jeringo, kecamatan Pringgabaya. Di sekitar gunung tersebut terdapat ladang penduduk yang dikenal dengan Ladang Menggode. Gunung tersebut terpisah dari Gunung Rinjani serta tidak tersambung dengan perbukitan yang lain, menyendiri, dan bentuknya limas. Mengenai ukurannya saya tidak bisa sebutkan karena belum menemukan referensinya. Sebenarnya sih mau ngukur tapi sayang saya bukan ahlinya, hehe.
Waktu pertama kali datang di ladang Menggode, saya takjub melihat pemandangan di sana. Jika kita melihat ke arah utara maka kita bisa melihat deretan pegunungan Rinjani, kemudian bukit Menggode yang paling dekat. Dan jika kita melihat ke arah selatan, terdapat pantai di Kayangan yang sangat indah. Kita akan melihat jejeran kapa-kapal yang hilir mudik menuju Sumbawa. Juga tentunya pemandangan hijau tanaman-tanaman di ladang membuat suasana semakin menakjubkan, hembusan angin yang sepoi-sepoi membuat kita tidak ingin beranjak dari situ.
Ada satu hal yang membuat saya selalu penasaran di ladang Menggode, yaitu Gunung Menggode. Saya penasaran ingin segera ke sana, kemudian memanjatnya. Beberapa kali saya bertanya kepada orang-orang di sana, bahwa apakah ada orang yang mendaki gunung itu? Kata mereka, ada. Lalu saya lanjut bertanya, ada apa di atas sana? Lalu mereka menjawab tida ada apa-apa, tapi cuma ada kuburan kata mereka. Saya semakin penasaran. Tapi saya masih belum ada kawan yang mau menemani mendaki gunung itu.
Lalu pada hari Minggu, tanggal 3 April 2016 saya pergi ke ladang Menggode. Kepergian kali ini, sebenarnya tidak punya rencana untuk mendaki gunung. Tapi tiba-tiba saya mengeluarkan kata-kata “Kita naik gunung yuk!” di depan paman Hamdi. Awalnya saya cuma bercanda. Saya tidak bermaksud mengajak dia mendaki gunung itu, karena saya tau dia sedang capek. Tapi, tiba-tiba paman mau, saya kira dia bercanda pula. Dia pun bangkit dari tempat duduknya. Lalu mengambil parang.
“Yok berangkat.” Kata Paman Hamdi.
Saya sangat senang sekali. Dan Sri Mulyani adik iparku yang saat itu mendengar kami berbincang-bincang mau ikutan juga. Akhirnya kami bertiga pergi ke Gunung Menggode. Sedangkan yang lainnya tidak kami ajak, karena takut mereka kenapa-kenapa, juga tidak ada yang membantu ibu memetik Srikaya.
Gunung menggode memang benar-benar menggoda, ya, menggoda untuk didaki. Siapa pun yang melihat gunung itu, pasti penasaran ingin mendakinya. Itu pasti.
Kami berjalan menyusuri jalan setapak. Di kiri kanan tanaman kacang hijau membentang. Batu-batu besar berjejer menghiasai pematang ladang. Pohon-pohon serikaya yang berbuah lebat melambai-lambai ditiup angin.
Cuaca pada hari itu sangat cerah. Sehingga kami sedikit kepanasan. Namun tidak menyurutkan tekad kami untuk mendaki Gunung Menggode. Kami ingin segera mencapai puncak.
Lalu kami pun tiba di kaki gunung, sekaligus perbatasan ladang. Karena tidak ada ladang lagi menuju ke atas. Rumput setinggi tubuh kami siap untuk diterobos.
“Siap memanjat?” kata Paman Ham.
“Siap!” Pekik kami girang.
Setiap moment tentu tidak lepas dari jepretan kamera ponselku. Perjalanan kami menuju puncak sangat menyenangkan. Meski letih. Kaki terasa pegal-pegal, tapi semuanya menjadi tidak terasa. Rumput tebal seperti permadani yang memyelimuti tubuh gunung. Kami semakin berafsu untuk terus merangkak sampai ke atas. Sesekali berhenti di bawah pohon baiduri. Kemudian minum sebentar terus melanjutkan perjalanan. Sementara waktu sudah hampir pukul 12.00. Kami mulai memanjat pukul 11.30. sebentar lagi kami akan tiba di puncak. Terasa seperti akan klimaks.
Kami kembali berhenti di lereng gunung, sambil menikmati pemandangan laut Kayangan. Terasa sangat dekat pantainya. Kapal-kapal yang berlayar terilhat sangat jelas. Hamparan tanaman ladang seperti jagung, kacang hijau luas membentang. Lalu pada kesempatan itu paman Ham sedikit menceritakan kisah Gunung Menggode.
Itulah sedikit kisah yang diceritakan secara turun menurun oleh rakyat. Dan saya mendapatkan ceritanya pertama kali di atas gunung Menggode yang diceritakan oleh paman Hamdi.
Kami pun melanjutkan perjalanan menuju puncak. Tinggal selangkah lagi kami akan tiba di sana. Begitu sampai, ternyata rumput-rumput di atasnya mengering. Seperti telah disempot oleh Roundup. Bagian yang kering itu membentuk bundaran. Luasnya sekitar luas lapangan sepak bola. Kami pun melintas di atas rumput tebal yang mengering. Terasa sangat panas oleh sengatan matahari yang menimpanya. Jika ada percikkan api sedikit saja, pasti rumput itu terbakar.
Lalu kami mencari tempat yang teduh. Terdapat banyak botol minuman di atas. Sepertinya sudah ada orang yang mendaki. Kami juga melihat sobekat kain putih yang membuat tubuh kami sedikit merinding. Mirip seperti tali ikatan mayit. Tapi perasaan itu segera lenyap setelah kami melihat pemandang di sekitar. Kami juga melihat ke arah utara di bagian seberang gunung. Kelihatan cantik. Deretan rumah penduduk di yang berjejer di kaki gunung Rinjani terlihat anggun. Lembah-lembah yang hijau juga membuat hati memjadi tenang. Kami berteduh. Ingin rasanya terlelap sebentar. Tapi itu tidak mungkin. Suasananya sangat sepi. Sri adikku juga terlihat takut setelah dicetakan ada ular naga besar yang cuma ada kepalanya menggelinding. Akhirnya kami pun beranjak dari tempat itu.
Kami segera turun. Untuk turun kami agak cepat. Kurang dari satu jam kami sudah tiba di bawah.