Saat Aku Jatuh Cinta

Abduh Sempana
Kala itu tengah libur semester, tepatnya saat matahari mulai beristirahat dan sang rembulan menggantikan posisinya. Desaku dikerudungi oleh langit yang terang benderang. Sinar Sang Dewi Malam berkilau di antara rerumput yang tumbuh di pekarangan.

Lama kupandangi rembulan yang bertengger di atas awan. Pikiranku melayang-melayang. Entah mengapa aku berpikir tentang desaku. Ya, desaku yang dulunya hijau dengan rumpun bambu serta sungai yang mengalir dengan derasnya, kini tinggal kenangan. Entah apa yang menyebabkannya berubah begitu cepat. Akankah itu semua gara-gara tangan jahil yang tak bertanggung jawab?

Setelah merenung sejenak, aku pun teringat pada sesuatu yang lain. Yaitu buku Ilmu Faraid yang belum aku fotocopy. Aku segera bergegas mengambil buku itu. Untuk menghilangkan gelisah, kubaca buku tulisan tangan guruku itu sampai habis. Rencannya, besok pagi aku akan
memotocopynya.

***

Esoknya hari langit begitu cerah. Sesuai rencanaku semalam, aku mau pergi ke tukang fotocopy. Tapi aku masih bingung mau pergi sama siapa. Lantas aku teringat kakak sepupuku.

Begitu tiba di rumah kakak sepupuku yang bernama Siti Latifah Aeni dan sering aku panggil Ipok itu, langsung saja aku nyelonong masuk.

“Kak Ipok, Kak Ipok...Kamu di mana!” Aku memanggil sambil menelusuri seluk beluk ruangan yang ada di rumah Kak Ipok.

“Ya, napa lo manggilnya kenceng-kenceng banget, lo kira gue budek apa.” Terlihat bibir Kak Ipok kelihatan monyong.

“Hehehe, Maaf dech. Bantuin pergi ke tukang potocopy dong kakakku yang cantik!”

“Adduuhhh, Si Miyot, nyusahin aja dech jadi adek.”

“Biarin, mau apa nggak, GPL.”

“Kalau nggak?”

“Gue ngambek aja deh!”

“Ngambek kok pakai senyum-senyum gitu sih!”

“Mangkaknya Mau ya, mau ya, plis kakakkyu yang super duper cuatik, tik, tik, tik!”

“Eh, udah. Kayak Band Kotak aja. Ok dech, tunggu di motoraku, mau siap-siap dulu.”

“Siap Kakak.”

Tak lama setelah itu, kami pun tiba di tempat yang kami tuju. Setiba di sana tenyata antreannya cukup panjang. Aku pun mulai mengguman. Biasa deh, ciri-ciri orang yang kurang sabaran.

“Oh, my God, sampai  kapan aku harus menunggu orang sebanyak ini.”

Belum lama menunggu, aku melihat sebuah kursi kosong, lantas aku duduk di tempat itu. Kak Ipok kubiarkan berdiri aja.

Lama-lama kepalaku jadi pusing melihat orang-orang yang berjubel di situ. Belum lagi aroma tidak sedap yang tiba-tiba mengusik rongga hidungku. Bau busuk itu membuat aku penasaran dan ingin mencari dari mana ia berasal. Dan beberapa menit kemudian aku semakin mencium bau busuk itu, dan ternyata bau itu berasal dari parit yang tidak jauh dari tempat itu. Sejenak aku berpikir, inikah pemandangan di desaku saat ini? Gunungan sampah dan air yang terlihat anyir berwarna hijau.

Aku pun memberanikan diri untuk mendorong gunungan sampah itu sendiri, tanpa aku sadari rasa jijikku sirna seketika, dengan alat seadanaya, yaitu sepotong bambu, kemudian dengan sekuat tenaga yang kupunya, aku terus mendorong sampah-sampah itu. Sampai akhirnya aku bisa membuat air di selokan itu mengalir. Dan betapa bahagianya hati ini saat berhasil mendorong sampah-sampah itu.

Aku baru sadar kalau desaku telah berubah, seperti yang aku pikirkan semalam. Seiring bergantinya waktu, ternyata sudah tak ada lagi hentakan sapi yang membajak sawah, tapi yang mulai terdengar adalah deru ribut mesin-mesin. Sungai pun telah beralih fungsi, yang mana mula-mula tempat ikan menari-nari, kini menjadi tempat pembuangan sampah sembarangan. Lantas aku berpikir, kemana ikan-ikan yang dulu itu, mungkinkah mereka mati, ataukah pindah entah ke mana.

Aku berharap, masyarakat sadar untuk tidak membuang sampah sembarangan. Ya, karena itu kuncinya. Hanya kesadaran. Terkesan remeh. Tapi dampaknya kematian. Banjir, longsor, lalu menjangkitnya berbagai penyakit seperti DBD, muntaber, malaria, dan lain-lain.

Eh, aku baru sadar, aku kan lagi memotocopy. Lalu tatapanku tertuju pada kios fotocopy itu ternyata orang-orang sudah sepi. Kulihat Kak Ipok berkacak pinggang dan menatapku dengan mata melotot.

“Jadi, ini maksud lo ngajak gue ke sini. Bukannya lho mau motocopy!?”

“Maaf Kak, tadi gue cuma nek aja lihat tu sampah.”

“Hoho...kayaknya lho udah mulai jatuh cinta ya sama lingkungan. Baguslah!”


Lamya Kausari | Lahir 10 Juni 2001 di Dasan Tumbu. Sekarang siswi di MTs NW Boro'Tumbuh kelas IX. Hobi membaca. Cita-cita?

Baca juga :
Sampaikan Sebelum Terlambat
Anak Rimba yang Malang

Lihat: Kumpulan Cerpen Siswa-Siswi MTs NW Boro'Tumbuh
Comments